Rabu, 22 Desember 2010

Ingin Hidup Sehat di Tengah ’Kota Polusi’ ??

Jakarta menempati urutan ke-3 sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Apa yang bisa kita lakukan?

Meski Jakarta makin macet, pengap, dan terpolusi, rasanya sulit bagi kita untuk meninggalkan ibukota tercinta ini. Karena itu, kalau ingin bertahan di ibukota Republik Indonesia yang tersayang ini, kita perlu melakukan sesuatu untuk membuat udara kota Jakarta lebih sehat bagi kita maupun anak cucu Mengandalkan pemerintah saja tidak cukup. Bersama-sama akan ditemukan solusi secara lebih cepat dan lebih sempurna.

Tapi sebelum bertindak, perlu kita ketahui dulu apa saja yang membuat Jakarta menjadi kota yang tidak sehat. Beberapa fakta – yang mungkin Anda sadari secara samar-samar – telah dipaparkan secara gamblang oleh para ahli dalam Green Festival 2010 yang bertema Solusi untuk Bumi dan diselenggarakan di Parkir Timur Senayan, awal November lalu.



Stop Volume Kendaraan Bermotor

Pertumbuhan jumlah kendaraan di DKI Jakarta mencapai 10,9% per tahun. Dengan laju pertumbuhan setinggi ini, jumlah kendaraan di Jakarta saat ini (2010) telah mencapai 11.362.396 unit (Polda Metro Jaya, Agustus 2010) terdiri dari 8.244.346 unit kendaraan roda dua dan 3.118.050 unit kendaraan roda empat, jauh melampaui jumlah penduduk Jakarta yang hanya 9.558.198 jiwa.

Kemacetan diperparah karena panjang jalan di Jakarta hanya sekitar 7.650 kilometer untuk luas 40,1 kilometer persegi, atau hanya 6,26% dari luas wilayahnya. Padahal, perbandingan ideal antara prasarana jalan dan luas wilayah adalah 14%. Berarti, Jakarta harus membangun sedikitnya, dua kali lebih banyak jalan dari sekarang. Mungkinkah?

Sudah begitu, sebagian besar kendaraan bermotor ini menghasilkan emisi gas buang yang buruk, karena para pemilik kendaraan tidak memberikan perawatan yang memadai atau menggunakan bahan bakar berkualias kurang baik. Sementara laporan World Bank (2009) menyatakan bahwa 70% sumber pencemar udara berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor.

Bisa dimengerti mengapa kemacetan makin sulit diatasi dan pencemaran udara semakin meningkat.

Apa yang harus dilakukan ?

· Pemerintah. Batasi kepemilikan kendaraan pribadi untuk menekan efek negatif polusi yang ditimbulkan.

· Kita. Lebih disiplin melakukan uji emisi untuk mengetahui kadar partikel dan karbon kendaraan bermotor mesin bensin. Ini berlaku untuk mobil pribadi maupun angkutan umum.

· Pemerintah. Berikan sanksi tegas jika ada emisi yang melebihi ambang batas.

· Kita. Berbesar hati jika dalam waktu dekat ini pemerintah DKI Jakarta menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar, di ruas jalan yang sebelumnya diberlakukan sistem 3 in 1.

· Pemerintah. Perbaiki fasilitas angkutan umum agar para pengguna kendaraan pribadi tidak segan beralih ke kendaraan umum.



Risiko kanker darah setelah timbal diganti

Tahun 1996, Jakarta telah dinyatakan sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia setelah Mexico City (Meksiko) dan Bangkok (Thailand). Gara-gara pernyataan WHO ini, dilakukan upaya pembebasan Indonesia dari bensin bertimbal dimulai dengan pencanangan Program Langit Biru oleh Presiden Soeharto pada tahun 1996, setelah Indonesia menghadiri pertemuan puncak Earth Summit di Rio de Janeiro, Brasil. Lewat Program Langit Biru, sejak 2001, Jakarta dan sekitarnya dinyatakan bebas bensin bertimbal, disusul kota-kota besar lain di seluruh Indonesia (2006).

Namun, berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK UI), setelah sekian tahun program pembebasan bensin bertimbal berjalan, diketahui kualitas udara di Jakarta masih sangat buruk, karena BBM kita mengandung senyawa berbahaya pengganti timbal (senyawa aromatik, senyawa oksigenat, senyawa olevin, dan senyawa isomerat). Dalam kurun waktu 5 sampai 30 tahun, senyawa pengganti timbal ini dapat menyebabkan kanker darah (leukemia).

Menurut Budi Haryanto, Peneliti dari PPK UI, paparan senyawa aromatik di udara Jakarta sangat berbahaya karena merupakan senyawa yang bersifat genotoxic carcinogen. Artinya, tidak ada batas aman untuk terkena risiko kanker. Penggunaan senyawa pengganti timbal ini seharusnya diikuti dengan pemasangan catalyctic converter pada knalpot kendaraan yang berfungsi menyaring zat-zat beracun hasil pembakaran senyawa aromatik.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di negara-negara Eropa, diketahui bahwa kebocoran pengisian bahan bakar tanpa timbal sebanyak 12 persen saja sudah bisa menimbulkan risiko kanker. Apalagi, pengguna jalan di kota metropolitan setiap hari menghirup udara beracun dari senyawa aromatik yang tidak melalui proses penyaringan.

Apa yang harus dilakukan ?

Pemerintah, produsen dan pemasok mobil. Para produsen dan pemasok mobil di Indonesia, harus lebih bertanggungjawab terhadap kesehatan lingkungan, dengan memasang catalytic converter pada knalpot kendaraan mobil maupun sepeda motor yang mereka jual kepada konsumennya, agar bisa lebih ramah terhadap lingkungan.

Pemda, LSM, kita. Galakkan kampanye hidup sehat bebas udara beracun di jalan raya, antara lain dengan mewajibkan penggunaan masker setiap kali berkendara atau beraktivitas di luar rumah. (N)

Penulis : Ahmad Kholil

Simak artikel lengkapnya di majalah Nirmala 12/Tahun 11, edar 1 Desember 2010

Tidak ada komentar: