Rabu, 07 Desember 2011

Lagi-lagi, Pro-Kontra Imunisasi

Awalnya, imunisasi dipercaya bisa menghindarkan anak dari berbagai penyakit infeksi yang menyebabkan cacat dan kematian. Namun belakangan, imunisasi justru dikabarkan membawa penyakit, bahkan bisa berakibat fatal

Belum lama ini, dua balita di Bekasi meninggal setelah mengikuti Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Isma Nur Fauziah (3 tahun) meninggal empat hari setelah divaksinasi di posyandu di dekat rumahnya. Setelah imunisasi, Isma mengalami demam tinggi, kejang-kejang, dan tidak sadarkan diri. Bungsu dari dua bersaudara itu menghembuskan napas terakhir setelah menjalani perawatan intensif di rumah sakit.

Hal serupa juga dialami Hanif M. Husnaya (3 tahun). Malam hari seusai imunisasi, balita itu demam tinggi disertai muntah-muntah. Hanif pun sempat dibawa ke rumah sakit, namun demamnya tidak kunjung mereda. Tiga hari setelah imunisasi, Hanif pun mengembuskan napas terakhirnya.

Penyebab kematian dua balita tersebut sempat simpang siur. Awalnya, mereka dikabarkan mengalami ensefalitis, peradangan otak yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau mikroorganisme lainnya. Namun belakangan, Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat, mengumumkan bahwa kedua bayi diduga meninggal dunia karena tersedak tablet obat penurun panas yang diberikan kedua orangtuanya.

Pernyataan ini membuat kedua keluarga korban meradang. Tian Setiani (26 tahun), ibunda Isma mengatakan, obat yang ia minumkan pada Isma saat mengalami panas tinggi berbentuk sirup. Sementara Eva Larasati (30 tahun), ibunda Hanif, mengatakan, anaknya sama sekali tidak diberi obat, sehingga ia memastikan kematian anaknya bukan karena tersedak tablet seperti yang disampaikan Heryawan.

Yang disesalkan, di saat penjelasan ilmiah mengenai penyebab kematian dua balita tersebut belum diberikan, kasus ini sudah ditutup. Kontroversi pun semakin memanas. Pihak yang pro pun bersikukuh bahwa vaksinasi tidak ada hubungannya dengan kematian mereka. Sementara yang kontra semakin keras menuding bahwa vaksinlah biang keladinya.



Demi tujuan mulia

Kata imunisasi sendiri artinya memberikan kekebalan pada tubuh. Kekebalan tersebut bisa diberikan secara pasif maupun aktif. Secara pasif, maksudnya tubuh langsung diberi kekebalan, sehingga tubuh tidak perlu membentuk kekebalan sendiri. Keuntungannya, kekebalan yang diperoleh bisa langsung dipakai untuk mengusir kuman dan racun di dalam tubuh. Namun kerugiannya, karena bersifat pasif, jumlahnya dapat terus berkurang dan lama-kelamaan bisa habis. Contohnya adalah kekebalan yang berasal dari plasenta, ASI, dan suntikan imunoglobulin.

Sementara pada kekebalan secara aktif, tubuh diberi kuman mati atau kuman hidup yang telah dilemahkan. Inilah yang disebut vaksinasi.

Itulah mengapa sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1800-an di Inggris oleh Edward Jenner, penemunya, kontroversi seputar imunisasi sudah terjadi. Salah satu tokoh dunia yang menentang imunisasi adalah Neil Z. Miller, seorang jurnalis sains dan kesehatan asal Amerika Serikat. Ia berpendapat, imunisasi adalah tindakan yang berbahaya. “Memasukkan campuran dari bahan-bahan kimia dan zat asing ke tubuh anak yang sehat demi alasan menghindari penyakit infeksi bukanlah keputusan bijaksana,” tutur pendiri Thinktwice Global Vaccine Institute ini.



Antara zat kimia dan status kehalalannya

Selain meragukan kehalalannya, kelompok yang menentang imunisasi umumnya menjadikan zat kimia di dalam vaksin sebagai alasan, sebab zat tersebut diyakini dapat memicu berbagai macam gangguan kesehatan.

Dalam artikelnya yang berjudul “How Vaccines Can Damage Your Brain”, Russel Blaylock, MD, ahli bedah saraf dari Amerika Serikat, menyatakan, saat vaksin diujicobakan pada hewan, produksi cytokines, semacam protein yang merangsang kekebalan tubuh, memang meningkat. Namun yang perlu diperhatikan, vaksin tersebut juga membangunkan microglia, senyawa kimia di dalam otak yang tugasnya menyerupai tentara keamanan.

Pada kondisi tidur, microglia berperan melindungi sel-sel otak dan membantu sel-sel saraf di dalam otak saling menyampaikan informasi. Namun saat microglia menyadari ada zat asing yang masuk, ia akan memproduksi zat-zat beracun, sebagai mekanisme alami dalam memerangi ancaman bahaya. Pada fase ini, biasanya tubuh menjadi kurang nyaman, mengalami sickness behavior. Bentuknya bisa mirip gejala flu, bisa juga berupa rasa gelisah, sensitif, mudah lelah, ingin menjauh dari keramaian, sulit tidur, dan sulit berkonsentrasi (depression-like symptom).

Yang perlu digarisbawahi, Blaylock menuturkan, respon tubuh terhadap vaksin dalam merangsang kekebalan jauh berbeda dengan kekebalan yang terbangun saat terinfeksi penyakitnya secara alami.(N)

Penulis : Dyah Pratitasari

Simak artikel lengkapnya di Nirmala 12/Tahun 12, edar 1 Desember 2011

Tidak ada komentar: